Siang itu pukul 13.00 WIT (Waktu Indonesia Tengah) aku pertama kali menginjakan kakiku ke salah satu pulau kecil di ujung Indonesia timur. Entah ini ke berapa kalinya aku menginjakan kaki dari asal kelahiranku untuk berhijrah. Banyak kota yang pernah aku singgahi dan banyak pula rasa persaudaraan dan pengalaman yang berharga yang aku ambil semuanya.  Empat jam perjalan dalam pesawat dari kota Yogyakarta. Waktu yang tidak sebentar. Tapi rasa lelah itu terlunasi setelah memandang hamparan lautan biru yang sangat menakjubkan. “Subhanallah, Allah sangat kaya raya, semua yang ada dalam bumi hanya milikMU, kami sebagai manusia hanya di suruh menjaga dan merawatnya dengan baik serta mengambilnya untuk kebutuhan manusia, tapi masih banyak sebagian manusia yang tidak bersyukur”, gumamku dalam hati. Sambil berjalan menuju salah satu rumah saudara, aku berdo’a dan bersyukur atas keselamatan yang telah Allah berikan khusus buat keluarga kecilku.

Ma, kita dimana?” tanya putri kecilku sambil merengek minta pulang. “kita ada di salah satu bagian bumi Allah nak”, jawabku pelan sambil kupeluk dia. Memang berpisah dengan keluarga itu adalah sesuatu yang sangat menyedihkan. Apalagi putriku lebih dekat dengan neneknya. Betapapun rasa rindu kepada keluarga yang tak terperi, bakti istri kepada suami adalah paling utama. Istri harus mengikuti perintah, saat suami mendapatkan tugas. Itu janji suci dalam sebuah pernikahan.

Ramadhan dalam perantauan sangatlah berbeda dengan asal tempat tinggal kami, dan setiap daerah memiliki ciri khas khusus dalam menyambut bulan Ramadhan. Begitu juga daerah yang kami tempati saat itu. Sungguh Indonesia memiliki Kekayaan budaya dan tradisi yang sangat banyak. Keanakaragaman  budaya tidak membuat perselisihan. Dalam menyambut Ramadhan setiap daerah memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri.

Sore itu kami berjalan-jalan memutar kota kecil kalau istilah kata kerennya ngabuburit. “Ya Allah, ternyata Engkau takdirkan saya menginjakan kaki di pulau ini”. Ucapku dalam hati. Saya takjub. Menyaksikan secara langsung sebuah kerajaan Islam, yang dikala kecil hanya mampu membaca buku sejarahnya saja. Ternyata kekayaan Alam daerah ini yang menjadi awal mula penjajah Belanda menginjakan kaki untuk mengambil kekayaan rempah-rempah atau istilahnya butiran emas dari ujung timur.

Para pedagang menjajakan makanan beraneka ragam. Mulai dari lalampa, kue lilin, kue cucur dan lain-lain. Semua makan tersaji dengan penuh menggoda.

Ma, aku mau yang itu warna hijau”, rengek putriku. Ternyata yang di dituju adalah es pisang hijau.

Cik, saya beli yang itu ya”, ucapku kepada Cik tersebut.

Oke mbak, mbaknya dari jawa ya?”, tanyanya.

Iya cik, saya masih baru, tapi Paetua sudah lama di sisni”, jawabku.

Kalau di tempat sini panggilan Cik adalah setara dengan Ibu. Kalau Paetua adalah menghormati untuk kata bapak.

Tradisi di tempat ini, setiap bulan Ramadhan semua saling menghargai dengan tidak berjualan makanan dan minuman sebelum waktu sore tiba. Tradisi itu turun temurun. Bahkan orang yang yang berbeda agamapun menghargai. Jadi, misalkan kita akan membatalkan puasa, kita tidak akan dapat menemukan makanan atau minuman di jual di pinggir jalan. Sungguh luar biasa dan perlu di contoh untuk daerah-daerah lainnya.

Mengabdikan ilmu di pulau kecil di ujung Indonesia timur membuat kita semakin bersemangat. Sebuah hadits membuktikan :

زوى حبًان و الترمذيْ في جامعه أنّ رسول الله صلى عليه وسلّم قال : ” لا تزول فدما عبد يومالقيامة حتّى يسأل عن أربع عن عمره فيما أفناه وعن جسده فيما أبلاه وعن علمه ماذا عمل فيه وعن ماله من أين اكتسبهُ وفيما أنفقه “

Diriwayatkan oleh ibnu Hibban dan At Tirmidzi, Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda :

“Tidak akan bergeser kedua telapak kedua kaki seorang hamba dihari kiamat sehingga ditanya dengan empat macam, yaitu : Tentang umurnya habis digunakan untuk apa, jasadnya rusak digunakan untuk apa, ilmunya bagaimana mengamalkanya, hartanya dari mana mencari dan kemana membelanjakannya”.  

Bahwa masalah duniawi itu adalah masalah yang rendah, pasti lenyap, sedikit dan pasti rusak. Maka perlu itu diwaspadai supaya selamat dan beruntung.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَثَاعُ الْغُرُوْرِ

Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang mempedayakan” ( Ali Imran : 185)

Bahwa prinsip dalam keluarga kami apapun yang bisa kamu ajarkan maka ajarkanlah selama itu bermanfaat untuk orang lain. Salama yang kita ajarkan adalah sebuah kebenaran.

Ibu, saya mau bertanya tentang hakikat sebuah pengamalan harta, mengapa di dalam islam ada perbedaan antara Shadaqah, zakat, wakaf, infaq”, tanya salah satu dari siswa.  “ Ibu akan jawab setelah materi selesai ya”, jawabku dengan rasa tenang. Setiap selesai materi kami selalu berdiskusi dengan mereka. Mengamalkan kecil dari ilmu kita adalah akan bermanfaaat untuk mereka. Menjadi amal jariyah buat kita kelak. Waktu semakin berlalu, tak terasa kami telah beberapa tahun berada di pulau kecil ini. Hanya rasa bersyukur dan bersyukur yang selalu kami ajarkan ke keluaraga kami. Dengan pendapatan berapapun kita harus syukuri. Karena di pelosok nan jauh di sana masih banyak di antara mereka yang membutuhkan sumbangsih dari ilmu kita. Hanya saja setiap Ramadhan kami tidak bisa berkumpul dengan keluarga besar. Di manapun dan kapanpun Ramadhan selalu menyisipkan sebuah cerita yang menjadi Iktibar buat kita untuk selalu beramal baik, dimanapun dan kapanpun selama Allah Swt masih memberikan nafas buat kita.

Follow me!