oleh : Wasul Nuri, S.Hum, M.Pd.

Suatu hari para sahabat merasa kesulitan ketika mendapati sebongkah batu besar yang menghalangi mereka ketika menggali parit dalam perang Handaq. Sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir, RA. dan para sahabat. Ketika itu Rasulullah turun tangan sendiri untuk menghancurkan batu itu, dengan kondisi perut yang diganjal batu karena sudah tiga hari mereka tidak makan.

Kemudian sahabat Jabir ini memohon ijin kepada Rasulullah untuk pulang, Rasulullah pun mengijinkan. Sesampainya di rumah Sahabat Jabir bertanya kepada istrinya, Istriku adakah makanan yang kita miliki? Istrinya menjawab, ada gandum dan seekor anak kambing. Sahabat Jabir pun menyembelih anak kambing itu dan memasaknya, juga membuat roti dalam panggangan.

Kemudian Sahabat Jabir pun pergi menemui Rasulullah SAW untuk mengundang beliau dan sahabat kerumahnya untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan. Rasulullah bertanya, Berapa banyak makananmu? Jabir pun menjelaskan sekiranya makanan itu cukup banyak. Katakan kepada istrimu jangan diangkat masakan itu dari atas tungku dan roti itu juga jangan dikeluarkan dari tempat pembakarannya sebelum aku datang.

Sesampainya di rumah Sahabat Jabir berkata kepada istrinya kalau Rasulullah akan datang bersama sahabat dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Istri Jabir bertanya, Apakah Nabi SAW menanyakan berapa banyak makanan kita? Jawab Jabir, Ya. Istri Jabir berkata, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.

Sesampainya di rumah Sahabat Jabir, Rasulullah memotong-motong roti diatas periuk yang berisikan masakan daging kambing muda itu, sambil mempersilahkan para sahabat untuk memakannya. Subhanallah, makanan itu masih utuh ketika para sahabat pulang karena sudah kenyang memakan masakan itu. Sahabat Jabir pun menuturkan, Aku bersumpah dengan nama Allah. Mereka telah makan hingga mereka pergi dan meninggalkan rumah kami.

Keberkahan hidangan yang dipersiapkan Jabir dan istrinya untuk Nabi SAW, sahabat Muhajirin, dan Anshar lebih disebabkan karena mereka menghiasi diri dengan keimanan, ketakwaan, dan keikhlasan dalam berusaha. Termasuk keikhlasan para sahabat Nabi SAW menggali parit di Khandaq.

Menurut bahasa, berkah berasal dari bahasa Arab: barokah (البركة), artinya nikmat (Kamus Al-Munawwir, 1997:78). Istilah lain berkah dalam bahasa Arab adalah mubarak dan tabaruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179), berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”. Menurut istilah, berkah (barokah) artinya ziyadatul khair, yakni “bertambahnya kebaikan” (Imam Al-Ghazali, Ensiklopedia Tasawuf, hlm. 79).

Untuk mengggapai keberkahan dalam hidup, usaha perlu dilakukan. Usaha untuk terus memantaskan diri sehingga diri kita layak mendapatkan berkah. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat tadi, mereka menghiasi diri dengan keimanan, ketakwaan, dan keikhlasan dalam berusaha.

Berkah dimaknai adanya kebaikan yang sifatnya ilahi dalam suatu perkara atau tindakan. Ia tidak bisa terlihat langsung secara indrawi dan lahiriah, namun kadang bisa dirasakan. Kadang juga dirasakan mempunyai nilai tambah padahal secara lahirnya tidak atau malah berkurang.

Bekerja yang terbaik adalah bekerja sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Cirinya bisa dilihat dari motivasi kerja yang ditujukan untuk mencari ridha Allah SWT. Selain itu cara kerjanya juga sesuai dengan syariat Islam, dalam bidang yang halal, dan manfaat kerjanya memberi kebaikan, kesejahteraan serta keselamatan bagi semua (rahmatan lil alamin).

Rejeki barokah bukan dilihat dari jumlah yang diterima, tetapi dari ketenangan dan kecukupan yang dirasakan dalam bekerja. Keberkahan dalam bekerja akan tercermin dalam kesuksesan kita mengelola rumah tangga. Karena tidak ada artinya jika kesuksesan karir kita tidak dibarengi dengan kesuksesan berumah tangga.

Ada beberapa syarat agar kerja kita lebih berkah:

Pertama, Menanamkan ketauhidan kepada Allah Swt, sebagai satu-satunya Dzat Yang Maha Esa, yang paling berhak menjadi “Gantungan (tempat bergantung),” Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, tiada sekutu bagi-Nya (QS. Al-Ikhlas : 1-4). Kualitas ini yang akan menentukan kualitas kerja kita, bahkan menurut para ahli, 90 % aktivitas manusia itu ditentukan oleh tauhidnya, dengan tauhid akan memancarkan sikap kejujuran, sedangkan 10% lainnya diperoleh melalui keterampilan. Dengan adanya prinsip ketauhidan, seseorang dapat melihat tujuan hidupnya dengan jelas, yakni untuk mendapatkan Ridha-Nya. Kualitas tauhid ini akan menciptakan kualitas kesalehan hidup dunia dan akhirat.

Kedua, Kualitas pikir. Dengan adanya kualitas ini, kita akan mendapatkan informasi, mengelola, memproduksi, dan mencapai hasil dari informasi tersebut secara baik dan akurat.

Ketiga, Kualitas hati nurani. Dengan kualitas ini, kita akan menajamkan nilai moral religious dan akan bekeerja secara objektif, karena hati nuraninya akan memerintah secara mutlak dan dengan tanpa syarat.

Keempat, Kualitas keterampilan, yakni kemampuan teknis (10%) dalam melaksanakan aktivitas tertentu.

Mari kita berusaha memperbaiki diri, memantaskan diri, sehingga keberkahan itu betul-betul pantas untuk kita dapatkan. Dalam sebuah aktivitas, niat adalah suatu hal yang sangat penting. Begitu juga dalam bekerja, niat menjadi sangat penting, karena akan menentukan dalam proses kita bekerja nantinya. Marilah kita niatkan kerja kita hanya untuk Allah semata.

Sumber :

Follow me!